A. Keagamaan Bangsa Arab Pra Islam
Sebelum munculnya Islam bangsa arab disekitar jazirah Arab telah menganut agama yang mengakui Allah sebagai Tuhan mereka, sudah mengenal dan mengetahui Tuhan Allah. Karena mereka pada umumnya sejak beberapa ratus tahun silam, sebelum Nabi Muhammad diutus, sudah sering kali kedatangan para Nabi utusan Allah, yang menyampaikan seruan (dakwah) kepada mereka untuk menyembah kepada Tuhan yang maha Esa, jangan sampai menyekutukan sesuatu dengan-Nya. Kepercayaan dan keyakinan tersebut diwarisi secara turun temurun sejak Nabi Ibrahim dan Ismail yaitu agama Hanif ,[1] kepercayaan yang mengakui dan meyakini bahwa keesaan Allah sebagai pencipta alam, Tuhan yang menciptakan (hayati) dan mematikan (mamati), Tuhan yang melimpahkan rizki.
Namun seiring berlalunya waktu yang begitu lama disebut dengan istilah masa fatrah, yaitu masa terputusnya kenabian dalam jangka waktu yang telah ditentukan, maka masyarakat mengalami degradasi moral yang sangat tinggi.[2]
Namun seiring berlalunya waktu yang begitu lama disebut dengan istilah masa fatrah, yaitu masa terputusnya kenabian dalam jangka waktu yang telah ditentukan, maka masyarakat mengalami degradasi moral yang sangat tinggi.[2]
Akan
tetapi, setelah beberapa puluh tahun kemudian, agama Nabi Ibrahim dan Nabi
Ismail yang suci itu diputarbalikkan, diubah, direka, ditambah, dan dikurangi
oleh para pengikut itu sendiri, hingga akhirnya agama Nabi Ibrahim tinggal nama
saja. Mereka percaya dan yakin bahwa Tuhan itu adalah Tuhan yang maha Esa. Dia
yang menciptakan segenap makhluk, yang mengurus, yang mengatur, dan yang
memberi segala sesuatu yang dihajatkan oleh segenap makhluk. Akan tetapi, dalam
menyembah (beribadah) kepada-Nya, mereka membuat atau mengadakan berbagai
perantara, dengan tujuan untuk mendekatkan diri mereka kepada Tuhan.
Kepercayaan dan keyakinan kepada Allah tetap mengental dalam diri bangsa Arab sampai kerasulan Nabi
Muhammad SAW, tetapi keyakinan itu dicampuradukkan dengan tahayul dan
kemusyrikan, mengsekutukan Tuhan dengan sesuatu dalam menyembah dan memohon
kepada-Nya, seperti ruh, jin, hantu, bulan, matahari, tumbuh-tumbuhan, berhala
dan sebagainya. Kepercayaan yang menyimpang dari agama Hanif disebut dengan istilah agama Watsaniyah,
yaitu agama yang mempersyarikatkan Allah dengan menyembah kepada: Autsan (patung
yang terbuat dari batu), Ansab (patung yang memiliki bentuk), dan Ashnam
(patung yang terbuat dari kayu, emas, logam, perak dan semua patung yang tidak terbuat dari kayu).[3]
Diantara beberapa sesembahan bangsa Arab dapat dibagi menjadi beberapa kelompok; pertama, menyembah Malaikat; kedua, menyembah jin dan ruh; ketiga, menyembah bintang-bintang; keempat, menyembah berhala (patung); kelima, agama ahli kitab (Yahudi dan
Nasrani).
Sepanjang riwayat,
penyebab diantara mereka hingga menyembah berhala atau arca karena sebagian
besar dari mereka terlalu memuliakan Ka’bah dan Masjidil Haram. Setiap kali
mereka ziarah ke daerah suci Mekkah untuk mengerjakan ibadah haji menurut
syariat (ketentuan hukum pada masa) Nabi Ibrahim, mereka kembali dengan membawa batu-batu yang ada di sana ke negeri mereka
masing-masing. Selanjutnya batu-batu yang dibawanya itu dimana saja mereka
berhenti lalu ditaruhnya batu-batu itu di tempat yang istimewa, setelah itu batu-batu tersebut dikelilingi oleh mereka sebagaimana biasa mereka mengelilingi Ka’bah.
Mereka mengamalkan yang demikian itu dengan tujuan hendak mendapat berkah, akibat
sangat cinta dan menghormati Ka’bah. Kemudian seiring berjalannya waktu, tertariklah mereka
untuk menyembah batu-batu dan berhala-berhala itu, dan mereka lupa akan
petunjuk (hidayah) agama Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail yang sebenarnya.
Selain itu, ada
pula riwayat yang mengatakan bahwa penyebab bangsa Arab menyembah berhala,
terutama berhala-berhala yang ada disekeliling Ka’bah itu, adalah sebagai
berikut:
Amr bin Lubayyi, merupakan salah seorang dari banu Khuza’ah yang telah merebut kekuasaan atas Ka’bah dan kota Mekkah dari tangan (kekuasaan) Jurhum. Setelah mengalahkan Jurhum, dia pergi menuju Balqa, daerah Syam. Di sana , dia melihat
penduduknya yang menyembah berhala-berhala (patung), arca-arca, dan sebagainya. Dia
tertarik dan terpengaruh oleh mereka sehingga ia mengikuti kelakuan mereka.
Oleh karena itu, ketika pulang dari sana dibawanya satu berhala yang berukuran besar yang diberi nama Hubal, menurut riwayat berhala Hubal tersebut dibuat dari batu Akik merah,
seperti orang, tangannya yang sebelah kanan sudah patah, kemudian setelah
menjadi berhala (patung) kaum Quraisy selanjutnya mereka membuatkan tangan dari emas sebagai
ganti tangan yang patah tersebut. Menurut riwayat lain, Hubal diletakkan di dalam Ka’bah
dan dijadikan berhala yang paling besar di dalam dan di luar Ka’bah. Kemudian
dipujanya dan disembahnya.
Ketika itu, dia
berseru kepada segenap penduduk Hijaz supaya menyembah berhala yang besar itu,
terutama kepada orang-orang yang sedang mengerjakan ibadah haji dari segenap
penjuru daerah Arab. Seruannya berpengaruh juga dan lambat laun semakin banyak diantara penduduk Hijaz yang menyembah berhala (patung) itu, selanjutnya, lama kelamaan
berhala yang mereka sembah itu bertambah banyak sehingga terpaksa mereka letakkan disekeliling Ka’bah.
Selain menyembah
berhala, bangsa Arab juga minoritasnya masih menganut agama ahli Kitab
(Yahudi dan Nasrani). Para ulama ahli Tarikh
menceritakan bahwa pada masa tersebut agama kaum Yahudi dan agama kaum Nasrani
berkembang dan tersebar diseluruh jazirah (wilayah) Arab. Agama yahudi berkembang di Arab
karena pada masa itu kaum Yahudi yang ada di negeri Asyur di usir oleh kerajaan
Romawi. Walaupun sedang dalam pengusiran, mereka tetap rajin dan giat
menyiarkan agamanya. Banyak juga diantara mereka yang lari ke daerah Yaman dan
Hijaz. Yang ada di daerah Hijaz, sebagian besar lalu berdiam di kota Yatsrib. Sementara
itu agama Nasrani berkembang di jazirah Arab karena pada masa itu agama Nasrani
mendapat bantuan yang besar dari kerajaan Habsyi dan kerajaan Romawi. Oleh
sebab itu, walaupun sedikit demi sedikit, berkembang juga agama Nasrani di
jazirah Arab.
Karena pemeluk
kedua agama itu pada masa tersebut sudah selalu berselisih dan bertengkar maka
dijazirah Arab mereka berebut pengaruh (dampak) dan keunggulan dalam mengembangkan
agamanya masing-masing, sehingga pernah terjadi juga peperangan antara dua
agama tersebut.
Kehidupan keagamaan
dilingkungan bangsa Arab Jahiliyah memang beraneka ragam menjelang kenabian,
tetapi ada juga kelompok dalam masyarakat yang terbebas dari dampak agama Watsaniyah, yaitu agama Yahudi dan agama
Nasrani. Kelompok tersebut berpegang teguh pada ajaran Hanif, menyeru untuk mengesakan Allah dan melepaskan diri dari adab
Jahiliyah, seperti meminum khamar, membunuh bayi wanita, dan bermain judi.
Diantara mereka adalah Umayah bin Abi Shalat seorang penyair, Waraqah bin
Naufal yang mempunyai kitab Injil, Qayis bin Saodah Al-Abadiy seorang yang arif
dan bijaksana, ahli pidato dan hakim. Dapat disimpulkan bahwa bangsa Arab pada umumnya
tidak meninggalkan agama Hanif,
beberapa ajarannya tetap terjaga dan dijalankan dengan patuh. Hanya saja
dipadukan dengan upacara pemujaan kepada berhala. Ka’bah sebagai rumah ibadah
tetap dimuliakan dan Mekkah tetap dijadikan sebagai kota suci dan pusat peribadatan. Tiap tahun
mereka ziarah dan mengerjakan ibadah haji. Dan ketika pelaksanaan ibadah
haji tersebut mereka melakukan penyimpangan. Misalnya mereka thawaf mengelilingi
Ka’bah tanpa busana.[4]
Disamping itu juga tidak
dapat dipungkiri ditengah kehidupan orang-orang jahiliyah banyak terdapat
hal-hal yang hina, moral dan masalah-masalah yang tidak bisa diterima oleh akal
sehat, juga tidak disukai oleh manusia. Akan tetapi mereka masih memiliki
akhlak-akhlak (perilaku) yang terpuji diantaranya: memenuhi janji, kedermawanan, kemuliaan
jiwa dan keengganan menerima kezaliman, dan kehinaan, pantang mundur, serta suka menolong orang lain (hanya saja sifat ini kurang
tampak dikarenakan mereka berlebihan dalam masalah keberanian dan mudah terseret
dalam peperangan), dan kesederhanaan pola kehidupan Badui (dapat dipercaya, kejujuran, meninggalkan dusta dan pengkhianatan).[5]
Adapun yang berkaitan dengan
relasi gender dalam masyarakat Arab tidak banyak berbeda dengan masyarakat
sekitarnya, artinya laki-laki bertugas membela (membentengi) dan mempertahankan seluruh
anggota keluarga. Konsekuensinya laki-laki memonopoli semua kepemimpinan (kewenangan) dalam
semua tingkat, mulai dari kepala rumah tangga, kepala suku (qabilah). Termasuk
kewenangan laki-laki mengetuai acara ritual keagamaan dan acara-acara perayaan lainnya. Promosi karir dalam berbagai profesi dalam masyarakat hanya berada dikalangan laki-laki. Perempuan mengurus urusan yang berhubungan dengan
reproduksi. Laki-laki lebih banyak bertugas di luar rumah (wilayah publik),
sedangkan perempuan bertugas di dalam atau disekitar rumah atau kemah-kemah
(wilayah domestic).[6]
B. Moral Bangsa Arab
Pra Islam
Sebelum munculnya Islam, bangsa Arab memiliki kebiasaan-kebiasaan buruk
sehingga masa itu dikenal dengan masa Jahiliyah, banyak sekali norma-norma (kebiasaan) yang dilakukan oleh mereka sangat bertolak belakang dengan
syariat Nabi Ibrahim, bahkan apa yang mereka lakukan tidak masuk akal dan
merugikan orang lain. Diantara kebiasaan-kebiasaan yang
mereka lakukan sebelum datangnya Islam adalah:
1.
Meminum
arak
2.
Perjudian
3.
Pelacuran
4.
Pencurian
dan Perampokan
5.
Kekejaman
6.
Kekotoran
dalam urusan makan dan minum
7.
Tidak
punya kesopanan, dan
8.
Pertengkaran
dan perkelahian.
0 Response to "TARIKH TASYRI'"
Posting Komentar