Sifat-sifat hadits
yang diterima :
1. Sanadnya harus muttasil
(bersambung), artinya tiap-tiap perawi betul-betul mendengar dari gurunya. Guru
benar-benar mendengar dari gurunya, dan gurunya benar-benar mendengar dari
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
2. Perawi harus adil.
Artinya, perawi tersebut tidak menjalankan kefasikan, dosa-dosa, perbuatan dan
perkataan yang hina. Perawi yang adil adalah perawi yang muslim, baligh (dapat
memahami perkataan dan menjawab pertanyaan), berakal, terhindar dari
sebab-sebab kefasikan dan rusaknya kehormatan (contoh-contoh kefasikan dan
rusaknya kehormatan adalah seperti melakukan kemaksiatan dan bid’ah, termasuk
diantaranya merokok, mencukur jenggot, dan bermain musik).
3. Perawi harus
dabith.Artinya ialah orang yang kuat ingatannya,artinya ingatnya lebih banyak
daripada lupanya.Dan kebenarannya lebih banyak daripada kesalahannya.
4.
Betul-betul hafal.
5.
Tidak bertentangan dengan perawi yang lebih
baik dan lebih dapat dipercaya.
6.
Tidak
berillat, yakni tidak memiliki sifat yang membuat haditsnya tidak diterima.
B. Hadist
Ditinjau Dari Sisi Metode Periwayatannya Metode Mengemban Hadits Dan Cara
Menyampaikannya(At Tahammul Wal Ada ’)
Seseorang yang telah mempelajari hadits dengan sungguh-sungguh
dengan cara yang benar memiliki beberapa kode etik yang harus dia jaga dan dia
pelihara, baik ketika masih menjadi pelajar itu sendiri atau ketikadia sudah
mengajarkannya kepada orang lain kelak. Di dalam ilmu mushtholah hadits hal ini
dikenal dengan istilah at tahammul wal ada’. Pada pelajaran hadits
yang terakhir ini kita akan mempelajari kedua hal ini.
C. Definisi Tahammul (Mengemban Hadits/Penerimaan Riwayat).
Menurut Bahasa
Yaitu bentuk mashdar dari : تَحَمَّلَ
يَتَحَمَّلُ تَحَمُّلاً . Dikatakan حَمَّلَهُ الأمْرُ maknanya
adalah membebankan suatu urusan kepadanya.
Menurut Istilah
Yaitu mempelajari sebuah hadits dari seorang
syeikh.
1.Cara menerima dan
menyampaikan riwayat
Yang dimaksud dengan “jalan menerima hadits” (thuruq at-tahammul)
adalah cara-cara menerima hadits dan mengambilnya dari Syaikh.Dan yang dimaksud
dengan “bentuk penyampaian” (sighatul-ada’) adalah lafadh-lafadh yang digunakan
oleh ahli hadits dalam meriwayatkan hadits dan menyampaikannya kepada muridnya,
misalnya dengan kata : sami’tu ( سَمِعْتُ) “Aku telah mendengar”; haddatsani ( حَدَّثَنِي)
“telah bercerita kepadaku”; dan yang semisal dengannya.
Dalam menerima hadits tidak disyaratkan
seorang harus muslim dan baligh. Inilah pendapat yang benar. Namun ketika
menyampaikannya, disyaratkan harus Islam dan baligh. Maka diterima riwayat
seorang muslim yang baligh dari hadits yang diterimanya sebelum masuk Islam
atau sebelum baligh, dengan syarat tamyiz atau dapat membedakan (yang haq dan
yang bathil) sebelum baligh. Sebagian ulama memberikan batasan minimal berumur
lima tahun. Namun yang benar adalah cukup batasan tamyiz atau dapat membedakan.
Jika ia dapat memahami pembicaraan dan memberikan jawaban dan pendengaran yang
benar, itulah tamyiz dan mumayyiz. Jika tidak, maka haditsnya ditolak.
Jalan untuk menerima dan menyampaikan
hadits ada delapan, yaitu as-sama’ atau mendengar lafadh syaikh; al-qira’ah
atau membaca kepada syaikh; al-ijazah, al-munawalah, al-kitabah, al-I’lam,
al-washiyyah, dan al-wijadah. Berikut ini masing-masing penjelasannya berikut
lafadh-lafadh penyampaian masing-masing :
o
As-Sama’ atau mendengar lafadh syaikh (guru).
Gambarannya : Seorang guru membaca dan
murid mendengarkan; baik guru membaca dari hafalannya atau tulisannya, dan baik
murid mendengar dan menulis apa yang didengarnya, atau mendengar saja, dan
tidak menulis. Menurut jumhur ulama, as-sama’ ini merupakan bagian yang paling
tinggi dalam pengambilan hadits. Lafadh-lafadh penyampaian hadits dengan cara
ini adalah aku telah mendengar dan telah menceritakan kepadaku. Jika perawinya
banyak : kami telah mendengar dan telah menceritakan kepada kami. Ini
menunjukkan bahwasannya dia mendengar dari sang syaikh bersama yang lain.
Adapun lafadh : telah berkata kepadaku
atau telah menyebutkan kepadaku, lebih tepat untuk mendengarkan dalam
mudzakarah pelajaran, bukan untuk mendengarkan hadits.
o
Al-Qira’ah atau membaca kepada syaikh. Para ahli
hadits menyebutnya : Al-Ardl
Bentuknya : Seorang perawi membaca hadits
kepada seorang syaikh, dan syaikh mendengarkan bacaannya untuk meneliti, baik
perawi yang membaca atau orang lain yang membaca sedang syaikh mendengarkan,
dan baik bacaan dari hafalan atau dari buku, atau baik syaikh mengikuti pembaca
dari hafalannya atau memegang kitabnya sendiri atau memegang kitab orang lain
yang tsiqah.
Mereka (para ulama) berselisih pendapat
tentang membaca kepada syaikh; apakah dia setingkat dengan as-sama’, atau lebih
rendah darinya? Yang benar adalah lebih rendah dari as-sama’.
Ketika menyampaikan hadits atau riwayat
yang dibaca si perawi menggunakan lafadh-lafadh : aku telah membaca kepada
fulan atau telah dibacakan kepadanya dan aku mendengar orang membaca dan ia
menyetujuinya.
Lafadh as-sama’ berikutnya adalah yang
terikat dengan lafadh qira’ah seperti : haddatsana qira’atan ‘alaih (ia
menyampaikan kepada kami melalui bacaan orang kepadanya). Namun yang umum
menurut ahli hadits adalah dengan menggunakan lafadh akhbarana saja tanpa
tambahan yang lain.
§ Al-Ijazah
Yaitu : Seorang Syaikh mengijinkan muridnya meriwayatkan hadits atau riwayat, baik dengan ucapan atau tulisan. Gambarannya : Seorang syaikh mengatakan kepada salah seorang muridnya : Aku ijinkan kepadamu untuk meriwayatkan dariku demikian. Di antara macam-macam ijazah adalah :
Yaitu : Seorang Syaikh mengijinkan muridnya meriwayatkan hadits atau riwayat, baik dengan ucapan atau tulisan. Gambarannya : Seorang syaikh mengatakan kepada salah seorang muridnya : Aku ijinkan kepadamu untuk meriwayatkan dariku demikian. Di antara macam-macam ijazah adalah :
§ Syaikh mengijazahkan
sesuatu yang tertentu kepada seorang yang tertentu. Misalnya dia berkata,“Aku
ijazahkan kepadamu Shahih Bukhari”. Di antara jenis-jenis ijazah, inilah yang
paling tinggi derajatnya.Ini dinamakan dengan ijazah fi mu’ayyanin (izin untuk meriwayatkan sesuatu yang tertentu
kepada orang yang tertentu).
§ Syaikh mengijazahkan
orang yang tertentu dengan tanpa menentukan apa yang diijazahkannya kepada
orang yang tidak tertentu. Seperti mengatakan,“Aku ijazahkan kepadamu untuk
meriwayatkan semua riwayatku”.Ini dinamakan dengan ijazah
ghairi mu’ayyanin li mu’ayyanin.
§ Syaikh mengijazahkan
kepada siapa saja (tanpa menentukan) dengan juga tidak menentukan apa yang
diijazahkan, seperti mengatakan,“Aku ijazahkan semua riwayatku kepada semua
orang pada jamanku”.ini disebutkan dengan ijazah
ghairi mu’ayyanin bighairi mu’ayyanin(izin untuk meriwayatkan sesuatu yang
tidak tertentu kepada orang yang tidak tertentu).
§ Syaikh mengijazahkan
kepada orang yang tidak diketahui atau majhul. Seperti dia mengatakan,“Aku
ijazahkan kepada Muhammad bin Khalid Ad-Dimasyqi”; sedangkan di situ terdapat
sejumlah orang yang mempunyai nama seperti itu.
§ Syaikh memberikan
ijazah kepada orang yang tidak hadir demi mengikutkan mereka yang hadir dalam
majelis. Umpamanya dia berkata,“Aku ijazahkan riwayat ini kepada si fulan dan
keturunannya”.
Bentuk pertama (a) dari beberapa bentuk di atas adalah diperbolehkan menurut jumhur ulama, dan ditetapkan sebagai sesuatu yang diamalkan. Dan inilah pendapat yang benar. Sedangkan bentuk-bentuk yang lain, terjadi banyak perselisihan di antara para ulama. Ada yang bathil lagi tidak berguna. Lafadh-lafdh yang dipakai dalam menyampaikan riwayat yang diterima dengan jalur ijazah adalah ajaza li fulan (beliau telah memberikan ijazah kepada si fulan), haddatsana ijaazatan, akhbarana ijaazatan, dan anba-ana ijaazatan (beliau telah memberitahukan kepada kami secara ijazah).
Bentuk pertama (a) dari beberapa bentuk di atas adalah diperbolehkan menurut jumhur ulama, dan ditetapkan sebagai sesuatu yang diamalkan. Dan inilah pendapat yang benar. Sedangkan bentuk-bentuk yang lain, terjadi banyak perselisihan di antara para ulama. Ada yang bathil lagi tidak berguna. Lafadh-lafdh yang dipakai dalam menyampaikan riwayat yang diterima dengan jalur ijazah adalah ajaza li fulan (beliau telah memberikan ijazah kepada si fulan), haddatsana ijaazatan, akhbarana ijaazatan, dan anba-ana ijaazatan (beliau telah memberitahukan kepada kami secara ijazah).
§ Al-Munaawalah atau
menyerahkan. Al-Munawalah ada dua macam :
ü Al-Munawalah yang
disertai dengan ijazah. Ini tingkatannya paling tinggi di antara macam-macam
ijazah secara muthlaq. Seperti jika seorang syaikh memberikan kitabnya kepada
sang murid, lalu mengatakan kepadannya,“Ini riwayatku dari si fulan, maka
riwayatkanlah dariku”. Kemudian buku tersebut dibiarkan bersamanya untuk
dimiliki atau dipinjamkan untuk disalin. Maka diperbolehkan meriwayatkan dengan
seperti ini, dan tingkatannya lebih rendah daripada as-sama’ dan al-qira’ah.
ü Al-Munawalah yang
tidak diiringi ijazah. Seperti jika seorang syaikh memberikan kitabnya kepada
sang murid dengan hanya mengatakan : “Ini adalah riwayatku”. Yang seperti ini
tidak boleh diriwayatkan berdasarkan pendapat yang shahih. Lafadh-lafadh yang
dipakai dalam menyampaikan hadits atau riwayat yang diterima dengan jalan
munawalah ini adalah jika si perawi berkata : nawalanii wa ajazanii, atau
haddatsanaa munawalatan wa ijazatan, atau akhbarana munawalatan.
§ Al-Kitabah/Mukatabah
Yaitu : Seorang syaikh menulis sendiri
atau dia menyuruh orang lain menulis riwayatnya kepada orang yang hadirs di
tempatnya atau yang tidak hadir di situ. Kitabah ada 2 macam :\
ü Kitabah yang disertai
dengan ijazah, seperti perkataan syaikh,“Aku ijazahkan kepadamu apa yang aku
tulis untukmu”, atau yang semisal dengannya. Dan riwayat dengan cara ini adalah
shahih karena kedudukannya sama kuat dengan munaawalah yang disertai ijazah.
ü Kitabah yang tidak
disertai dengan ijazah, seperti syaikh menulis sebagian hadits untuk muridnya
dan dikirimkan tulisan itu kepadanya, tapi tidak diperbolehkan untuk
meriwayatkannya. Di sini terdapat perselisihan hukum meriwayatkannya. Sebagian
tidak memperbolehkan, dan sebagian yang lain memperbolehkannya jika diketahui
bahwa tulisan tersebut adalah karya syaikh itu sendiri.
§ Al-I’lam
(memberitahu)
Yaitu : Seorang syaikh memberitahu seorang
muridnya bahwa hadits ini atau kitab ini adalah riwayatnya dari si fulan,
dengan tidak disertakan ijin untuk meriwayatkan daripadanya.
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum meriwayatkan dengan cara al-I’lam. Sebagian membolehkan dan sebagian yang lain tidak membolehkannya. Ketika menyampaikan riwayat dengan cara ini, si perawi berkata : A’lamanii syaikhi (guruku telah memberitahu kepadaku).
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum meriwayatkan dengan cara al-I’lam. Sebagian membolehkan dan sebagian yang lain tidak membolehkannya. Ketika menyampaikan riwayat dengan cara ini, si perawi berkata : A’lamanii syaikhi (guruku telah memberitahu kepadaku).
§ Al-Washiyyah
(mewasiati)
Yaitu : Seorang syaikh mewasiatkan di saat
mendekati ajalnya atau dalam perjalanan, sebuah kitab yang ia wasiatkan kepada
sang perawi.
Riwayat yang seorang terima dengan jalan wasiat ini boleh dipakai menurut sebagian ulama, namun yang benar adalah tidak boleh dipakai.
Ketika menyampaikan riwayat dengan wasiat ini perawi mengatakan : Aushaa ilaya fulaanun bi kitaabin (si fulan telah meqasiatkan kepadaku sebuah kitab), atau haddatsanii fulaanun washiyyatan (si fulan telah bercerita kepadaku dengan sebuah wasiat).
Riwayat yang seorang terima dengan jalan wasiat ini boleh dipakai menurut sebagian ulama, namun yang benar adalah tidak boleh dipakai.
Ketika menyampaikan riwayat dengan wasiat ini perawi mengatakan : Aushaa ilaya fulaanun bi kitaabin (si fulan telah meqasiatkan kepadaku sebuah kitab), atau haddatsanii fulaanun washiyyatan (si fulan telah bercerita kepadaku dengan sebuah wasiat).
§ Al-Wijaadah
(mendapat)
Yaitu : Seorang perawi mendapat hadits
atau kitab dengan tulisan seorang syaikh dan ia mengenal syaikh itu, sedang
hadots-haditsnya tidak pernah didengarkan ataupun ditulis oleh si perawi.
Wijadah ini termasuk hadits munqathi’, karena si perawi tidak menerima sendiri dari orang yang menulisnya.
Wijadah ini termasuk hadits munqathi’, karena si perawi tidak menerima sendiri dari orang yang menulisnya.
Dalam menyampaikan hadits atau kitab yang
didapati dengan jalan wijadah ini, si perawi berkata,“Wajadtu bi kaththi
fulaanin” (aku mendapat buku ini dengan tulisan si fulan), atau “qara’tu bi
khththi fulaanin” (aku telah membaca buku ini dengan tulisan si fulan);
kemudian menyebutkan sanad dan matannya.
0 Response to "SYARAT PERAWI DAN PROSES TRANSFORMASI HADITS"
Posting Komentar