HUKUM ISLAM DAN MASYARAKAT







     Menurut saya, hukum selain hukum qath’i itu kemungkinan akan terjadi perubahan, seiring melihat kondisi alam dan sosial di tempat tersebut, imam Syafi’i pernah mengubah qawl qadimnya-nya menjadi qawl jadid ketika beliau berada di Mesir.
Contoh: dalam berwudhu (penggunaan air musta’mal), pensucian kulit bangkai, tentang bilangan ibadah shalat Jum’at dan lain sebagainya. Dengan demikian, Al-Qur’an dan sunnah ketentuan yang tidak bisa dirubah hukumnya sedangkan yang lain bisa berubah sesuai dengan perkembangan zaman.

       Munculnya ahli hadis dan ahli ra`yu disebabkan adanya desakan-desakan warisan struktural dan kultural. Dimensi struktural yang mengakibatkan lahirnya dua aliran yaitu:   
a.    Pengaruh metodologi yang dilakukan oleh para sahabat, mereka menggunakan metodologi yang dipakai oleh ahli hadis adalah sikap mereka yang mempertahankan ketentuan nash/dalil yang dhahiriyah sekalipun, tidak mau melakuakan intervensi terhadap hadis atau nash/dalil kecuali dalam keadaaan terdesak. Mereka tidak menginginkan rasionalisasi hukum. Adapun orang-orang yang termasuk ahli hadis yaitu  Abdullah bin Amr bin Ash, Zubair, Abdullah bin Umar. Sedangkan metodologi yang dipakai oleh ahli ra`yu adalah rasio (pemikiran) yang dipopulerkan oleh Ibnu Mas`ud. ia sangat terpengaruh oleh pemikiran Umar bin Khattab. Ibnu Mas`ud sangat mengagumi kecemerlangan dari pemikiran Umar, sebagaimana janji dia yang akan tetap membela Umar walaupun semua orang di bumi menentang atau melawannya. Ibnu Mas`ud berkata bahwa: “jika semua orang memilih jalan dan Umar memilih jalan lain niscaya saya akan memilih jalan Umar.”
b.  Irak sebenarnya wilayahnya merupakan wilayah yang sering terjadi konflik, banyak munculnya penyelewengan hadis dan kebohongan periwayatannya, sedangkan di Madinah dan Hijaz masih banyak hadis dan fatwa sahabat, sehingga mereka tidak perlu melakukan ijtihad dan menggunakan rasio. Adapun dimensi kultural yang mengakibatkan lahirnya dua aliran adalah:
ü    Irak jauh dari bumi nabi dan hadis, irak merupakan sebuah negara yang terbuka untuk semua kebudayaan dan peradaban lain. Dengan adanya alasan tersebut maka para fuqaha (ahli Fiqh) yang dihadapkan pada problematika permasalahan hukum dituntut untuk menyelesaikannya secara cepat, maka dengan terpaksa mereka mengerahkan kemampuan yang mereka miliki dengan pemilahan/pengklasifikasian mereka sendiri yang berpedoman pada al-qur`an dan hadis. Dengan selalu menggunakan rasionya (pemikirannya) fuqaha irak mendapatkan keistimewaan sendiri, yaitu mereka bisa memprediksikan/memperkirakan suatu peristiwa yang akan terjadi sekaliagus menetapkan hukumnya. Sebagai contoh pada zaman tersebut belum ada yang namanya memindah anggota tubuh (antara lain cangkok paru-paru atau yang lainnya) tapi mereka sudah memberikan rambu-rambu hukum tentang permasalahan tersebut.
ü    Madinah dan Hijaz adalah gudang ilmu islam, disana banyak para ulama. Madinah dan hijaz juga suasana wilayahnya sama seperti ketika pada masa nabi SAW. Jadi untuk mengatasinya permasalahan cukup permasalahan dengan mengandalkan literatur Al qur`an dan hadis serta ijma` sahabat.


      Karena menurut beliau (Imam Malik) tradisi adalah suatu hal yang sudah banyak melekat pada diri orang-orang Madinah dimana tradisi itu dicontohkan oleh nabi Muhammad SAW diikuti oleh sahabat dan tabi’in dan oleh orang-orang setelah mereka secara turun temurun dan murni tanpa ada perubahan sedikitpun, menurut beliau ini lebih mutawatir karena sebagian besar ulama yang masyhur setuju daripada menggunakan hadits dhaif  (ahad) yang pada tingkatannya akan terputus pada satu orang saja sehingga tidak mutawatir menurut beliau, walaupun ulama di luar Madinah berpendapat sebaliknya.

         Sebab munculnya qawl qadim dan qawl jadid imam Syafi’i yaitu: ketika imam Syafi’i ditanyai atau mendapatkan permasalahan yang harus segera dipecahkan demi kemaslahatan umat, bila ada dalil shahih maka beliau akan memutuskan hukum sesuai dengan hadits itu, namun bila suatu masalah tidak ditemukan dalil maka beliau berijtihad. Ketika sewaktu-waktu imam Syafi’i menemukan dalil tentang permasalahan tersebut, maka ia akan memutuskan hukum sesuai dalil atau hadits tersebut, ijtihad sebelum adanya dalil menjadi (qawl qadim) dan pendapat yang muncul setelah beliau menemukan dalil itu menjadi (qawl jadid).
Contoh:
Ø  Potongan ayat “awlaamastumuu nnisaa’ 
a.  kata (lamasa) dulu imam Syafi’i mengartikannya “menyentuh” sehingga arti ayatnya berarti “apabila kalian menyentuh wanita kemudian tidak mendapatkan air maka bertayamumlah”. (qawl qadim)
b.   Belakangan kata (lamasa) diartikannya “bersetubuh” sehingga arti ayatnya berubah “atau apabila kalian bersetubuh dengan wanita (junub) kemudian tidak mendapatkan air maka bertayamumlah”. (qawl jadid)
Note: qawl qadim itu terjadi karena keterbatasan ilmu waktu itu dan belum mendapatkan dalil setelah ada dalil beliau ikut sesuai dalil qawl jadid.

Ø  Air Musta’mal
a.     Selama di Iraq, imam Syafi’i berpandangan bahwa air wudhu’ yang menetes dari sisa air wudhu’ seseorang hukumnya suci dan mnsucikan. Sehingga boleh dipakai untuk berwudhu’ lagi. Atau seandainya tetesan air wudhu’ itu jatuh ke dalam bejana yang kurang dari dua qullah, maka tidak merusak apapun. (qawl qadim)
b.  Namun saat beliau di Mesir, beliau mendapatkan bahwa dalil-dalil pendapatnya itu kurang kuat untuk dijadikan landasan. Sementara beliau menemukan dalil yang sangat  diyakini lebih kuat dari pendapat sebelumnya, bahwa Rasulullah SAW dan para sahabat tidak berwudhu’ dengan air bekas wudhu’. Sehingga beliau berpendapat dalam qawl jadid adalah sisa air wudhu’ itu air musta’mal yang hukumnya suci (bukan air najis) tetapi tidak sah kalau dipakai berwudhu’ (tidak mensucikan).

        Jadi, maksud hadits tersebut adalah dalam hal agama (yang menyangkut dengan aqidah, ibadah antara hamba dengan Allah) kita harus mengikuti apa yang dicontohkan oleh Nabi, sedangkan dalam masalah muamalah (hubungan manusia dengan manusia) boleh kita lakukan apa saja yang menurut kita baik dan tidak bertentangan dengan syari’ah walaupun tidak mencntoh Nabi, karena kita mungkin lebih paham daripada Nabi tentang perdagangan dan lain-lain. Mengapa demikian? Karena asbabul wurud hadits tersebut yaitu ketika pada suatu hari Nabi melewati perkebunan sahabat yang kebetulan pada waktu itu sedang menanam pohon kurma, Nabi melihat cara ia (sahabat) menanam, kemudian menyanggahnya, “bukan begitu cara menanam yang baik, kata Nabi) kemudian Nabi mecontohkan cara menanam dan diikuti oleh sahabat tersebut, beberapa hari kemudian, kurma yang ditanam oleh Nabi dan yang ditanam oleh sahabat yang mencontohkan cara nabi menanam tadi itu mati, sedangkan yang lain hidup, sahabat datang kepada rasul dan memberitahukan perihal tersebut, nabi bersabda: “antum a’lamu bi umuri ddunyaakum”.

          Pelaksanaan syari’at Islam di Aceh tidak terlepas dari apa yang telah di wariskan dari generasi ke generasi secara turun temurun, agar diaplikasikan dalam berbagai lapisan masyarakat dulu, sekarang dan di masa yang akan datang. Karena tokoh Aceh terdahulu berjanji kepada pemerintah suatu saat nanti Aceh akan menjadi negeri yang syari’at. Masa itu sekarang telah tiba dan pelaksanaan syari’at Islam di Aceh hampir genap 10 tahun. Namun dalam proses pelaksanaannya dilakukan secara bertahap agar pemahaman masyarakat awam tidak mengarah kepada Islam itu kejam dan sebagainya. Praktek itu pula belum mencapai titik pelaksanaan syari’at denagan maksimal sebagaimana tuntunan dalam Al-Qur’an. Penilaian saya pribadi terhadap pelaksanaan tersebut sebenarnya tidak terlepas dari kesadaran masyarakat itu untuk mengimplementasikan syari’at serta dukungan dari berbagai elemen bukan sebaliknya, sehingga pelaksanaan syari’at itu bukan hanya tugas WH dan Satpol PP tetapi merupakan kewajiban kita bersama. Kelemahan lain yang masih belum terbendung seperti banyaknya tempat-tempat rekreasi yang dijadikan sebagai ajang maksiat dan keterbatasan anggota satpol PP dan WH dalam melakukan razia atau patroli serta masyarakat itu sendiri yang resah dengan keberadaan WH dan Satpol PP, bahkan pejabat-pejabat, polisi, tentara dan orang-orang yang berada dikalangan atas itu juga yang menjadi tantangan bagi anggota WH dan Satpol PP.
Prediksi saya ke depan, kalau kekurangan-kekurangan tersebut di atas tidak dibenahi dengan segera maka pelaksanaan syari’at Islam di Aceh terkesan jalan di tempat dan tidak bisa dijadikan contoh untuk daerah-daerah lain yang ingin menerapkan syari’at. Sebagaimana pepatah Aceh yang pernah saya dengar dari bapak “lagee tayu peu ubat luka bak lalat

0 Response to "HUKUM ISLAM DAN MASYARAKAT"

Posting Komentar